AtjehUpdate.com,- LANGSA | Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Samudra (UNSAM), Fendi mengecam menyesalkan sikap Pemerintah RI yang telah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang.
UU tersebut disahkan pada rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin kemarin, (05/102020) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Menurutnya, pengesahan ini sangat menciderai buruh, petani, nelayan dan rakyat Indonesia.
Sebelumnya, pada Rabu, (21/07/2020) lalu. Dirinya bersama sejumlah mahasiswa mewakili beberapa BEM dan DPM Perguruan Tinggi di Langsa sudah melakukan unjuk rasa menolak RUU HIP dan Omnibus Law di DPRK setempat. Pasalnya terdapat sejumlah pasal yang termuat di UU tersebut yang bertentangan dengan nurani rakyat.
Misalnya, di pasal 122 RUU cipta kerja, ketika rumah di gusur untuk membangun proyek penguasa/pemerintah, maka rakyat tidak bisa menuntut ganti rugi. Kan sangat menyedihkan,” ungkap Fendi.
Selain itu, pada RUU Cipta Kerja yang sudah kami kaji sebelumnya, ada disusupkan poin-poin kontroversi RUU Pertanahan yang berhasil kita batalkan saat #ReformasiDikorupsi September 2019 lalu. Kalaulah RUU ini disahkan, siapa aja bisa digusur untuk proyek pemerintah.
Perusahaan bisa langsung dapet Hak Guna Usaha 90 tahun lamanya dan hak tanah juga akan diprioritaskan untuk investor dan perusahaan dari pada masyarakat kecil yang sampai sekarang belum punya jaminan hak atas tanah.
UU Cipta Kerja memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria dengan menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan, dan pertambangan.
Menurut data pemerintah ada 20 ribu lebih kampung dan desa yang masih tumpang-tindih dengan klaim kawasan hutan. Nah, bukannya mencari solusi penyelesaian konflik lahan yang tumpang tindih, RUU ini justru memperparah,” tandasnya histeris.
Tak sampai disitu, UU Cipta Kerja dinilai mempermudah perampasan dan penggusuran atas nama pembangunan infrastruktur dan bisnis, misalnya untuk kepentingan tambang, pariwisata dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
“Pengadaan tanah ke depannya tidak akan lagi memperhitungkan situasi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang terdampak pembangunan. AMDAL pun tidak lagi harus dipenuhi. Selain akan rusak lingkungan kita, kamu dan saya, bisa digusur kapan aja,” bebernya.
Di bidang Pertanian UU Cipta Kerja Mempercepat Alih Fungsi Tanah Sehingga Memungkinkan Adanya Kriminalisasi dan Diskriminasi kepada Petani, Nelayan dan Masyarakat Adat
Pangan adalah sektor kunci dalam situasi krisis Covid-19 seperti saat ini. Ironisnya, tiap tahun tanah pertanian di Indonesia terus menyusut akibat alih fungsi.
Dengan telah disahkannya RUU Cipta Kerja akan semakin memperparah kondisi tersebut karena proses alih fungsi lahan pertanian akan semakin dipermudah dengan dihapusnya syarat kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah, dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah.
“Maka, pangan kita makin kritis dan makin banyak rakyat Indonesia yang terancam kelaparan,” pungkasnya.
Tak menutup kemungkinan, UU Cipta Kerja akan memperparah kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani dan masyarakat adat.
Karena, Petani, nelayan dan masyarakat adat sering diancam, didiskriminasi dan ditangkap secara sepihak dengan beragam tuduhan pidana, biasanya memakai UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No.18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
“Ironisnya, UU ini justru semakin memperkuat dua undang-undang tersebut sehingga makin mengintimidasi petani, nelayan dan masyarakat adat,” pungkas Fendi mengakhiri.