Oleh : Dedy Fitriadi, S.Hut, M.Sc
AtjehUpdate.com,- MOU Helsinki adalah sebuah peristiwa sosial politik, yang mengawali babak baru hubungan Aceh & Indonesia. Dalam perundingan tersebut, kedua belah sepakat untuk duduk bersama, membicarakan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama bertahun- tahun dan telah merengut nyawa ribuan manusia. Pada akhirnya, GAM sepakat untuk tetap berada dalam bingkai NKRI, namun sebagai kompensasinya, Indonesia memberikan sejumlah kewenangan bagi Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dalam bidang pemerintahan, sosial budaya serta sumberdaya alam.
Kemandirian dan kewenangan yang didapat Aceh dalam mengatur SDA nya bertujuan agar terjadi percepatan pembangunan ekonomi, membuka lapangan kerja serta peningkatan taraf hidup masyarakat.
Sebagai bentuk keseriusan kedua belah pihak untuk memulai babak baru perdamaian, maka disusun dan diterbitkan lah UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Undang undang ini pada dasarnya berisi tentang kewenangan yang dimiliki Aceh. Kewenangan tersebut, hanya berlaku dan diberikan kepada Provinsi Aceh. Oleh karena itu, sifat undang-undang ini adalah lex specialis derogat lex generalis atau maknanya hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)”.
UU Nomor 11 tahun 2006, pada pasal 156 ayat 1,2 & 3, intinya menyatakan bahwa bidang kehutanan adalah salah satu bidang yang wewenang pengelolaan sumber daya alamnya diberikan kepada Pemerintah Aceh. Atas dasar ini, maka muncul lah turunan aturan hukumnya yaitu Qanun nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh. Qanun ini mengatur lebih detail tentang hal-hal teknis terkait pengelolaan sumberdaya hutan Aceh. Salah satu poin penting dalam qanun tersebut adalah pasal 53 yang berisi tentang adanya bentuk Kerjasama Pengelolaan Hutan yang bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan serta pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan hutan. Pasal 53 ini menjadi dasar semua Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Hutan yang dilakukan di Provinsi Aceh.
Kerjasama pengelolaan hutan ini memberikan dampak yang sangat signifikan dalam menggenjot Penerimaan Asli Aceh (PAA) & PAD (kabupaten) . Disamping itu, masyarakat desa yang ingin berpartispasi dalam mengelola hutan secara lestari, sangat terbantukan dengan adanya mekanisme Kerjasama Pengelolaan Hutan ini. Hal ini dikarenakan proses pengurusan izin yang mudah, cepat dan simpel, yaitu hanya di lakukan di Kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan yang ada di beberapa kabupaten di Aceh. Bandingkan dengan mekanisme pengelolaan hutan versi Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK) yang proses pengurusan izinnya hingga ke Jakarta dan memakan waktu yg panjang, bahkan hingga 2 tahun.
Kekisruhan pengelolaan hutan di Aceh mulai terjadi pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang ini memicu munculnya berbagai turunan produk hukum di bidang kehutanan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan, Peraturan Dirjen dan juga Surat Edaran. Semua aturan ini, sejatinya dikeluarkan secara umum bagi panduan pengelolaan hutan di Indonesia. Namun, pemerintah pusat lupa (atau pura-pura lupa) bahwa Provinsi Aceh mempunyai kekhususan dalam hal kewenangan pengelolaan hutan yang sifatnya Lex Specialis yang kewenangannya merupakan bagian dari proses perdamaian.
Jika dilihat, semua produk hukum kehutanan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengebiri hampir semua kewenangan Aceh dalam hal pengelolaan hutan. Salah satunya adalah tidak diperbolehkannya pengelolaan hutan dilakukan dengan Kerjasama Pengelolaan Hutan versi Qanun nomor 7 tahun 2016. Hal yang lebih menyakitkan lagi, kewenangan2 krusial lainnya juga dicabut.. Menyakitkan.
Yang lebih parah lagi, masuknya perusahaan-perusahaan dari luar Aceh yang berebut konsensi pengelolaan hutan Aceh dalam kompetisi perdagangan karbon, tanpa mampu dicegah oleh pemerintah Aceh. Semua proses perizinan ini, kepengurusannya dilakukan di KLHK. Padahal, potensi karbon yang ada di hutan-hutan Aceh nilainya trilyunan. Bayangkan, jika semua potensi karbon Aceh dapat dikelola oleh Pemerintah Aceh melalu mekanisme BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), maka akan ada potensi PAA trilyunan yang kiranya dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh yang merupakan substansi terpenting dari lahirnya MOU Helsniki dan UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Ironis..
Pemerintah Aceh yang menjaga hutan, tapi yang menikmati hasilnya adalah orang dari luar melalui perusahaan-perusahan swasta yang berebut konsesi pengelolaan hutan dalam perdagangan karbon.
Korban pertama dari kebijakan represif ala KLHK adalah pengelolaan ekowisata mangrove di Kota Langsa. Selama ini, pengelolaan hutan lindung mangrove, yang dikelola oleh Pemko Langsa, menggunakan skema pengelolaan hutan versi qanun nomor 7 tahun 2016 , yaitu berbentuk kerjasama. Dalam perjalanannya, atas dasar kerjasama ini, Dinas Lingkungan Hidup & Kehutanan Aceh, melalui UPTD KPH. Wil. III Aceh dan Pemko Langsa bahu membahu mengembangkan ekowisata mangrove ini sesuai dengan kewenangan masing-masih pihak. Hasilnya, dapat kita lihat saat ini, dimana ekowisata mangrove Kota langsa menjadi salah satu ikon wisata Aceh berskala Nasional. Kontribusinya terhadap PAA dan PAD sangat signifikan.
Namun, pada medio 2022, Kerjasama ini berakhir dan harus diperpanjang sebagaimana yang tertuang dalam naskah perjanjian. Pihak Pemko Langsa, sangat antusias untuk kembali mengurus perpanjangan izin pengelolaannya. Namun, ternyata aturan kehutanan turunan dari UU Cipta Kerja melarang hal tersebut. Pihak DLHk Aceh sudah menyurati KLHK dan juga audiensi terkait hal ini . Namun, KLHK bergeming dan terkesan menggantung hingga masa berlaku perjanjian kerjasama pengelolaan hutan mangrove Kota Langsa berakhir.
Akhirnya, mengingat bahwa Pemko Langsa telah berinvestasi dalam membangun kawasan ekowisata tersebut, maka dengan setengah hati pihak pengelola terpaksa mengurus izin pengelolaan kawasan hutan mangrove dengan menggunakan skema pengelolaan hutan versi KLHK, yaitu berupa PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan). Pengurusan yang panjang, dengan sejumlah syarat yang “luar biasa” menjadikan izin PBPH pengelolaan Kawasan hutan Lindung Mangrove Kota Langsa harus menempuh waktu yang panjang.
Efek lainnya adalah, PAA dan PAD yang sebelumnya di dapat dari pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove ini menjadi terputus. Pajak hanya dibayarkan kepada pusat, yaitu berupa PNBP. Yang lebih parah lagi, KLHK sering menjadikan kawasan ekowisata mangrove Kota Langsa sebagai contoh keberhasilan KLHK dalam membina pengelolaan kawasan hutan berbasiskan masyarakat. Padahal, tidak ada satu tetes pun keringat KLHK dalam membangun serta berkontribusi saat pembangunan kawasan ekowisata mangrove ini hingga menjadi salah satu ikon wisata Aceh berkelas nasional. Ibarat pepatah, lembu punya susu, kerbau punya nama.
Hal seperti ini akan kembali terjadi terhadap kerjasama-kerjasama pengelolaan hutan versi qanun no 7 tahun 2016 yang dipaksa untuk berubah sesuai dengan keinginan KLHK. Aceh harus siapa-siap gigit jari.
Kebijakan terbaru dari KLHK kembali diterbitkan pada bulan Mei kemarin, yaitu surat edaran dengan nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/HPL.2/5/2023 Tentang Penyesuaian Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada KPH Menjadi Perizinan Berusahan Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau Persetujuan Perhutanan Sosial (PS). Surat edaran ini memberikan tenggat waktu sampai 31 Desember 2023 bagi pemegang kerjasama pengelolaan hutan versi Qanun Nomor 7 tahun 2016 untuk berubah menjadi pengelolan hutan versi KLHK, yaitu PBPH dan PS
Menyikapi hal ini, Pemerintah Aceh & DPRA telah menyurati KLHK. Terakhir adalah pada bulan Juli dan Agustus kemarin. Namun, KLHK sama sekali tidak menggubris. Faktanya di lapangan, proses perubahan ini terus didorong dengan sangat agresif oleh UPT-UPT KLHK yang ada di Aceh, semisal BPHL Aceh.
KLHK dengan sangat brutal terus mengamputasi kewenangan Aceh tanpa sedikit pun respek terhadap proses perdamaian Aceh, MOU Helsinki dan UU tentang Pemerintah Aceh. Bahkan, dalam satu forum zoom, dengan pongahnya, salah seorang kepala Balai dari UPT KLHk yang ada di Aceh mengatakan bahwa Qanun Nomor 7 tahun 2016 Tentang Kehutanan Aceh tidak lagi relevan. Pernyataan ini sama saja dengan tidak menghormati Pemerintah & Masyarakat Aceh yang hari ini masih dalam proses berjalan beriringan dalam bingkai NKRI.
Agresivitas KLHK dalam mengamputasi kewenangan Aceh terkait pengelolaan hutan bisa kita artikan sebagai sebuah tindakan yang akan berpotensi merusak perdamaian dan jauh dari nilai-nilai penghormatan terhadap Aceh. KLHK lupa, bahwa kewenangan pengelolaan SDA yang di dapat Aceh adalah salah satu instrument penting dalam perdamaian kedua bangsa ini.
Terkait Surat Edaran Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/HPL.2/5/2023 diatas, yang memberikan tenggat waktu hanya sampai 31 Desember 2023 terkait kerjasama pengelolaan Hutan di Aceh, maka seyogyanya Pemerintah Aceh berusaha semaksimal mungkin menggunakan semua saluran yang ada dalam kurun waktu yang hanya tinggal 3 bulan lagi. Seluruh elemen harus menyatukan sikap untuk menjaga marwah Aceh. Salah satu lembaga yang hari ini belum bersuara banyak terkait “amputasi” kewenangan Aceh di bidang Kehutanan ini adalah Wali Nanggroe. Padahal, salah satu tugas penting dari Wali Nanggroe adalah memastikan terimplementasikannya butir-butir kesepahaman MOU Helsinki dan kewenangan Aceh yang ada di UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Semoga Wali Nanggroe segera terbangun dan ikut bersuara.
Pertanyaannya adalah, jika semua jalur diplomasi telah dilakukan, dan KLHK tetap ‘memaksakan’ kehendaknya, maka apa langkah Pemprov Aceh selanjutnya ? Jawabannya adalah, Pemprov Aceh harus melakukan excutive review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap peraturan-peraturan kehutanan pusat yang secara nyata telah mengamputasi UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh yang terkait dengan pengelolaan hutan Aceh.Jika Executive review ini terjadi, maka peristiwa ini akan menjadi penanda retaknya semangat rekonsiliasi dan perdamaian dalam bingkai NKRI.
Mari semua menyatukan Sikap. Jika terlambat, maka Dinas Lingkungan Hidup & Kehutanan Aceh hanya akan menjadi “tamu & turis” di kawasan hutannya sendiri. (Penulis adalah Analis Kerjasama Kehutanan KPH Wilayah III Aceh)