Oleh : Hasyim Said Sulaiman
AtjehUpdate.com,- Sebagai negara hukum, pelaksanaan pemerintahan dilaksankan sesuai prinsip “Hukum adalah Panglima”, dengan demikian setiap perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus sejalan dengan hukum yang ada. Namun kenyataannya terbalik, banyak pejabat publik dari mulai pusat hingga pejabat pemerintahan yang paling seperti geuchik pun sering berskap melawan hukum. Dengan berbuat yang bukan wewenang, melampaui kewenangannya, atau bahkan sewenang-wenang.
Pada praktiknya, banyak penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang cenderung korup, maka arah yang dituju oleh pemerintahan hanya kepentingan pribadi dan golongan tertentu semata. Pemerintahan gampong bukanlah pemerintahan yang menganut sistem monarki absolut (red-kerajaan), dengan kewenangan penguasanya yang tanpa batas, sebab raja adalah hukum itu sendiri.
Dalam pemerintahan gampong, posisi geuchik bukan sebagai raja di wilayah tersebut, yang dapat menjalankan pemerintahan atas sekehendaknya sendiri. Termasuk dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat gampong, yang hanya berdasarkan suka atau tidak suka, dengan mengesampingkan aturan adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Kondisi ini tidak lain adalah bentuk penyakit nepotisme, pengisian jabatan di pemerintahan yang didasarkan pada hubungan bukan pada kemampuan.
Akibat paling sederhana yang dapat ditimbulkan oleh praktik pengisian jabatan seperti ini dalam aspek pelayanan publik adalah adanya potensi memberikan pelayanan yang buruk akibat petugas yang tidak berkompeten.
Perangkat gampong adalah unsur penyelenggara pemerintahan gampong yang bertugas membantu geuchik dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya pada penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat di desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa berada pada kepala desa, namun pelaksanaan wewenang tersebut tentunya harus sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Desa sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2017, ditegaskan lagi oleh Qanun Aceh Timur nomor 13 tahun 2016 tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat gampong.
Hal ini demi memastikan pengangkatan dan pemberhentian perangkat gampong dilakukan secara teruji dan terukur bukan atas perasaan suka dan tidak suka kepada orang tertentu.
Melalui peraturan-peraturan tersebut pula, penyakit nepotisme dalam pengisian jabatan pada perangkat gampong sesungguhnya dapat dicegah, dikurangi, dan disembuhkan, sebagaimana pepatah mengatakan “hukum selalu memberi obat”. Tapi tetap saja masih ada pihak-pihak yang menolak untuk sembuh dan justru merasa semakin mapan dalam jabatannya jika berhasil menabrak aturan.
Tidak dipungkiri, bahwa menjalankan roda pemerintahan gampong tentu sedikit banyak dipengaruhi pula oleh dengan siapa sang geuchik mengayuh. Geuchik tentu berhak memilih ‘mitra’nya dalam bekerja melalui penempatan pada perangkat gampong, memilih pihak yang dianggap dapat sejalan dengan visi dan misinya agar tercapai pemerintahan gampong yang lebih baik. Namun alasan itu tidak dapat mengesampingkan kewajiban Geuchik untuk melakukan pengangkatan dan pemberhentian perangkat gampong harus sesuai dengan alur prosedur yang telah diatur. Justru disinilah ujian pertama seorang geuchik, menunjukkan profesionalismenya, menjamin bahwa tidak terdapat konflik kepentingan yang dapat mengacaukan sistem pemerintahan.
Jangan sampai esensi pemerintahan gampong bergeser dari yang seharusnya mendekatkan pelayanan kepada masyarakat justru menjadi mendekatkan penyalahgunaan wewenang dengan hadirnya nuansa raja-raja kecil di daerah.
Selain itu, peran serta camat sebagai perangkat daerah yang mempunyai tugas di antaranya untuk membina dan mengawasi kegiatan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dapat pula dilakukan dalam bentuk monitoring. Melihat fakta bahwa masih ada geuchik yang mengganti perangkat gampong tanpa berkonsultasi dan rekomendasi tertulis dari camat cukup mencerminkan bahwa di beberapa momen camat masih saja kecolongan tahap administratif tersebut. Sehingga kelengahan camat setempat dalam melakukan monitoring akan berdampak pada ketidakdisiplinan geuchik dalam menjalankan aturan terkait pengangkatan dan pemberhentian perangkat gampong.(Penulis adalah Sekretaris DPW Lsm Gadjah Puteh Aceh Timur)