Oleh : Yandri
AtjehUpdate.com,- | Seperti kehilangan arah dan makin tak jelas fungsi sebagai wakilnya rakyat, dewan perwakilan rakyat Aceh Tamiang justru terlihat makin mesra dengan eksekutif. Nyaris tak ada tugas sebagai amanah dari masyarakat yang tampak dilaksanakannya. Terkesan diam dan tanpa terobosan yang berarti, para dewan hanya sering tetlihat senyam senyum saja sambil mempertontonkan kenikmatan hidupnya di sosial media.
Hadir di sejumlah kegiatan seremony dan terkadang mendampingi eksekutif dalam rangka pembukaan acara ini dan itu terkesan sebagai bahagian dari.pencitraan semata. Penghuni gedung capitol ini terlihat mengidap kemandulan yang berkepanjangan.
Tak pernah terdengar lagi riuh rendahnya suara mereka dalam membahas program pembangunan daerah, atau bersitegang dengan eksekutif untuk mempertahankan terobosan yang bermuara pada kemaslahatan masyarakat. Bukannya bisa tidur nyenyak dibuatnya, kondisi ini justru menuntut masyarakat harus lebih ekstra mengawasi kinerja mereka.
Dpr terlihat seperti perusahaan NV Niaga yang datang dari negeri asing dan selalu menggenggam kalkulator untuk menghitung laba rugi dagangannya yang digagas dari uang rakyat. Mereka terlihat beringas jika hak pribadinya berkurang atau jika ditebas oleh eksekutif. Terkait masyarakat? mereka dingin sambil belagak pilon takut untuk fight dengan kekuasaan karena terancam aspirasi atau jatah sampingan yang bisa dititipkan pada tiap tiap dinas. Walhasil rakyat selalu dikorbankan.
Puluhan Lsm dan lembaga pemerhati sosial yang selama ini kerap menyuarakan ketidakadilan serta oenderitaan masyarakat dan bahkan kerap diberitakan di sejumlah media sejak bertahun-tahun lamanya, justru dianggap sampah. Bukan malah diapresiasi dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan nasib rakyat, namun aktivis dan media dituduh benci dan sentimen kepada mereka.
Sementara Eksekutif terlihat semakin jumawa dan leluasa tanpa ada hambatan dalam sepak terjangnya. Tak peduli masyarakat bisa sejahtera ataupun menderita. Abaikan segala persoalan sosial yang selama ini mendera, masyarakat seperti tanpa ada pembela karena tak ada fungsi wakilnya disana.
Terhitung, begitu banyaknya polemik yang ada dan telah berlangsung bertahun lamanya, sebut saja kasus penyerobotan lahan warga oleh PT Rapala yang telah merugikan harta warga, jadi korban penculikan dan dipenjara sepihak secara paksa, bahkan harus meregang nyawa. Pengalihfungsian hutan mangrove Kuala Peunaga, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang sangat merugikan dan merampas hak-hak warga.
Mereka bagai buta atau malah seperti tak mau tau soal itu. Padahal jelas-jelas tau siapa pelakunya, karena beberapa aktornya saat ini justru ada dalam lingkaran kekuasaan. Juga Bupati saat ini yang kala itu sebagai pihak yang paling berkompeten dalam jabatannya sebagai pucuk pimpinan di BPN Aceh, sangat memahami duduk perkara sebenarnya. Hanya butuh kejujuran dan nawaitu yang ikhlas maka persoalan akan jadi sederhana dan warga bisa merdeka.
Namun semua bagai angin lalu dan tanpa tindakan nyata untuk membela warga. Bukannya mengadopsi rumus “Kick n Rush” yang menerima keluhan warga lantas dieksekusi, tapi ini malah pakai jurus “Tiki Taka” hanya tebar pesona sambil memperlihatkan keindahan dalam mengolah kata namun selalu melempen dan lemah dalam penyelesaian akhir.
Akhirnya, masyarakat hanya bisa pasrah sambil berharap keajaiban datang, agar siapapun yang menzalimi mereka menerima balasan setimpal, atau secara alamiah nantinya akan muncul parlemen jalanan untuk mengambil alih kewenangan yang telah dipercayakan selama ini kepada mereka. Hal itu bisa saja tetjadi sebagai dampak daripada kekecewaan warga dengan wakilnya yang tak lagi bisa dipercaya.
(Penulis adalah pemerhati sosial dan Ketua DPW Gadjah Puteh Aceh Tamiang)