Home / Opini

Thursday, 2 March 2023 - 19:43 WIB

Membangun Peradaban Aceh Berintegritas

Oleh Taufiq A Gani

Kepala Pusat Data dan Informasi, Perpustakaan Nasional RI dan Peserta Lemhannas PPRA 65 2023

AtjehUpdate.com,- PELAKSANAAN dan pencapaian pembangunan di Aceh menjadi sorotan masyarakat akhir-akhir ini. Pembiayaan pembangunan bersumber dari Dana Otonomi Khusus menjadi isu yang ramai dibicarakan. Masyarakat banyak yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap pencapaian sasaran kegiatan pembangunan, yaitu berupa output, income dan impact.

Selain itu, angka kemiskinan di Aceh juga masih tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah, dan investasi yang rendah menjadi sorotan. Publik juga kecewa atas beberapa kasus tindak pidana yang saat ini sedang ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, seperti kasus beasiswa, fee pengadaan barang dan jasa.

Permasalahan lain juga terungkap dan menjadi polemik adalah penganggaran untuk kegiatan yang menjadi Pokok Pikiran (Pokir) anggota  DPRA.

Pemberitaan tersebut menjadikan permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan di Aceh menjadi makin transparan. Para ahli hukum, administrasi pemerintahan sampai sosiolog  menanggapi polemik tersebut berdasarkan kepakarannya masing-masing.

Humam Hamid (2023), sosiolog dari Universitas Syiah Kuala (USK) menanggapi keberhasilan aparat hukum dalam menangkap tersangka korupsi dalam pelaksanaan pembangunan di Aceh.

Humam mengharapkan Pemerintah Pusat mempertimbangkan kelanjutan proses hukum dengan kondisi masyarakat Aceh yang belum sepenuhnya pulih dalam transformasi dari zaman konflik ke perdamaian.

Pertimbangan tersebut atas dasar beban masa lalu yang masih diemban oleh penguasa (pemerintah) daerah saat itu yang juga menjadi bagian dari konflik masa lalu.

Syukriy Abdullah (2021), pakar Ilmu Akuntansi Pemerintah Daerah dari USK menuliskan tentang polemik usulan Pokir anggota DPRA yang banyak mendapat sorotan publik. Syukriy menyatakan bahwa kebijakan perencanaan pembangunan harus berdasarkan regulasi yang berlaku. Di samping itu regulasi terhadap pengawasan juga harus jelas sehingga aparatnya tidak ragu-ragu dalam bertindak.

Saifuddin Bantasyam (2023), dosen Fakultas Hukum USK juga memberi respons terhadap Pokir DPRA dalam bentuk harapan adanya akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaannya.

Dia mengharapkan DPRA tidak melakukan pilih kasih antara kegiatan Pokir dan nonpokir dalam menjalankan fungsi pengawasan supaya tidak terkena kalangan sendiri.

Dari penjelasan tiga pakar di atas dapat kita lihat bahwa Aceh saat ini memerlukan perangkat pelaksana, yaitu pemerintah daerah, anggota DPRA, dan dunia usaha yang memiliki dua sifat, yaitu berintegritas dan bebas dari konflik kepentingan.

Baca Juga :  Kecelakaan Lalu Lintas di Aceh Didominasi Pengendara Usia 16-30 Tahun

Selanjutnya perlu dibahas lebih lanjut bagaimana (a) dua sifat di atas dapat menjamin tercapai sasaran pembangunan, (b) tata kelola pemerintahan dapat menjaga interaksi dan kepentingan antar pihak pelaksana

Jika kedua hal tersebut tercapai, maka generasi pemerintahan Aceh saat ini akan memberikan legacy yang baik untuk generasi penerus.

Kembali kepada dua sifat di atas. Dalam kamus kompetensi perilaku KPK RI disebutkan bahwa integritas adalah bertindak secara konsisten, apa yang dikatakan dan dilakukan selalu sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.

Nilai tersebut dapat berasal dari dua sumber, yaitu  (a) formal seperti kitab suci, atau peraturan pemerintah, atau  (b) nonformal yaitu nilai di masyarakat atau moral pribadi.

Sementara itu, dari kamus yang sama, konflik kepentingan didefinisikan sebagai situasi dimana seorang penyelenggara negara memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya, sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.

Kedua sifat di atas perlu dikokohkan karena menjadi benteng terhadap risiko penyelewengan yang semakin marak akhir-akhir ini. Sepintas terlihat kedua sifat moral tersebut terkesan abstrak dan terlalu ideal untuk dipahami dan diwujudkan.
Namun, sebenarnya tidak demikian karena ada sosok-sosok aspiratif yang sudah melakukannya. Dari sosok tersebut dapat diturunkan langkah praktikal untuk membentuk diri kita sendiri.

Beberapa sosok dimaksud akan dijelaskan berikut ini.
Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Aceh dapat menjadi sosok berintegritas yang dapat menjadi panutan. Beliau menunjukkan ketegasannya dengan menjalankan keputusan Mahkamah Kerajaan  dalam menghukum mati putra mahkotanya  sendiri atas tindak pidana yang dilakukannya.

KPK RI juga menghimpun tokoh nasional yang memperlihatkan keteladanan. Sri Sultan Hamengkubuwono IX menunjukkan integritasnya dengan pernah meminta polisi membuat surat tilang karena beliau melanggar rambu lalu lintas, Bung Hatta yang jujur mengembalikan sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat, serta mantan Kapolri Widodo Budidarmo yang tidak menyalahgunakan jabatan untuk menghukum anaknya yang melakukan tindak pidana.

Usaha untuk tidak terperangkap dalam konflik kepentingan diperlihatkan oleh keteladanan Kapolri Hoegeng yang menutup toko kembang istrinya karena tidak ingin para pejabat yang bisa saja berhadapan dengan hukum membeli bunga dari toko istrinya.

Keteladanan di atas dapat menjadi contoh nyata dan benchmark bagi kita di Aceh yang memiliki kerentanan atas tindak korupsi. Oleh karena itu kita perlu berkomitmen bersama dalam membangun keteladanan yang sudah dicapai oleh para pendahulu kita.

Baca Juga :  Meski Sopir Truk Dilepaskan, Bea Cukai Aceh Bantah Ada Permainan 'Orang Dalam'

Walaupun Syukriy di atas mengatakan bahwa dana Pokir sudah sesuai regulasi, namun persyaratan dua sifat keteladanan di atas masih diperlukan untuk menghasilkan pencapaian sasaran kinerja kegiatan pembangunan di Aceh.

Sebenarnya, Aceh yang bersyariah dapat menyediakan sumber daya manusia penyelenggara pembangunan yang memiliki sifat di atas.

Masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam seharusnya memiliki  banyak pribadi yang memiliki Moslem Integrity, yaitu integritas sebagai muslim yang sandarannya sudah sangat jelas.

Di samping membangun secara berkarakter dengan keteladanan di atas, upaya lain yang dapat dilakukan adalah penerapan Clean and Good Governance atau  Sistem Tata Kelola Pemerintahan yang baik dan bersih.

Dalam tata kelola dimaksud, DPRA menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Keputusan-keputusan yang diambil harus berdasarkan evidence yang dibahas bersama pihak eksekutif.

Dengan integritas dan terbebas dari konflik kepentingan, sistem tata kelola yang dijalankan tidak akan keluar dari fungsi dan wewenangnya. Anggota DPRA tidak akan terlibat dalam eksekusi/implementasi kegiatan, baik dalam pengadaan barang dan jasa maupun bantuan sosial dengan dasar dua sifat keteladanan di atas.

Pimpinan Pemerintah Daerah dan SKPA demikian juga. Prinsip-prinsip tata kelola pengadaan barang dan jasa, serta penyaluran bantuan sosial harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang sudah  ditetapkan.

Mentalitas yang berintegritas dan bebas dari konflik kepentingan akan menghasilkan output penyediaan barang dan jasa/bantuan sosial tanpa ada praktik kolusi nepotisme dan korupsi dengan pihak penyedia.

Dengan dua sifat dan tata kelola, fokus Aceh kontemporer menjadi bukan hanya pada anggaran dan output kegiatan, tetapi cita-cita yang lebih besar yaitu membangun Peradaban Aceh yang baru.

Bukan hanya pencapaian sasaran pembangunan yang didapat, tapi sifat keteladanan dan sistem tata kelola  di atas yang menjadi legacy yang akan kita tinggalkan buat generasi penerus.

Seharusnya kita punya tekad membangun kembali peradaban Aceh yang sangat masyhur di abad 15-17 Masehi, untuk menyongsong  abad-abad berikutnya dengan melahirkan generasi-generasi dan sistem pemerintahan yang bersifat seperti yang dipraktikkan oleh Sultan Iskandar Muda di atas dalam sebuah konsensus yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka!(tribun)

 

Share :

Baca Juga

Opini

Ketua DPRA Jangan Coba-coba Mengkhianati Rakyat Aceh dengan Melemahkan Qanun LKS

Opini

Makin Mesra Dengan Eksekutif, Fungsi Kontrol Dewan Aceh Tamiang Tergadaikan

Aceh

Pengenaan Pasal 54 UU Cukai Kepada Sopir & Kernet, Sudah Tepatkah?

Opini

UU ITE, Quo Vadis Demokrasi Indonesia

Opini

Di Gampong Geuchik Bukan Raja

Opini

Cawe-Cawe Ultimum Remedium Pidana Cukai Rokok, Siapa Diuntungkan?

Opini

Anggota DPR Harus Tempatkan Masyarakat Sebagai Pihak yang Paling Penting

Opini

Dewan Terjepit : Menjaga Martabat, Dibabat Eksekutif