Rabu, 10 Desember 2025
Baling-baling helikopter TNI berputar seperti jarum waktu yang terseret paksa oleh bencana. Di bawahnya, tanah Aceh Tamiang masih mengerang: dipenuhi lumpur yang belum sempat mengering, bau kayu basah, dan sisa-sisa rumah yang kehilangan wujud. Dari kejauhan, heli itu seperti burung besi yang tersesat, membawa sesuatu yang tak pernah cukup: bantuan.
Ketika pintu heli terbuka, dan kantong-kantong makanan mulai dijatuhkan, terdengar sorakan kecil dari kelompok yang tubuhnya paling mungil: anak-anak. Mereka berlari. Sebagian tanpa sandal, sebagian menahan napas karena lumpur sampai ke lutut, sebagian masih membawa ketakutan yang belum sempat mereka pahami dari malam ketika air datang dengan suara seperti ratusan drum ditumpahkan dari bukit.
Tak ada yang lebih memilukan daripada melihat anak-anak berebut makanan bukan karena lapar semata tetapi karena rasa cemas bahwa jika mereka kalah cepat, mereka harus kembali pulang dengan tangan kosong kepada ibu yang wajahnya sudah terlalu letih untuk berharap.
Anak-anak itu merentangkan tangan. Rebutan. Sikut-sikutan kecil. Ada yang tersungkur. Ada yang berteriak memanggil nama adiknya. Ada yang tak peduli pada sakit di lutut karena ia tahu, sepotong biskuit bisa menjadi alasan adiknya yang masih balita berhenti menangis malam ini.
Di atas, heli TNI tetap berputar, seakan tak mampu menyaksikan lebih lama pemandangan itu. Baling-balingnya menaburkan debu dan menyediakan sekilas ilusi bahwa negara hadir—meski kadang lebih sebagai bayangan besar yang lewat, daripada tangan yang benar-benar menjangkau.
Di bawahnya, anak-anak itu tetap menggapai. Mereka menengadah ke langit seperti mengharap sesuatu yang lebih besar dari makanan: kepastian bahwa hidup bisa kembali ditata, bahwa sekolah yang hilang akan dibangun lagi, bahwa sungai yang mengamuk itu suatu hari bisa jinak, atau setidaknya tak datang lagi ketika semua orang sedang tidur.
Dalam kegaduhan itu, ada satu bocah laki-laki, BatiNNato 14 th, bajunya kebesaran, celananya koyak, menahan sebungkus mi instan di dadanya seperti menyimpan kitab suci. Ia tak berlari menjauh. Ia hanya berdiri mematung, menatap heli yang makin naik. Di wajahnya, ada sesuatu yang bukan gembira, bukan pula takut, tetapi semacam tanya yang hanya dimiliki anak-anak yang tumbuh lebih cepat dari waktunya:





