“Mengapa hidup harus direbut?”
Pertanyaan itu tak terdengar oleh siapa pun, kecuali oleh tanah yang kembali diam, dan oleh langit Aceh Tamiang yang barangkali sudah terlalu sering menyaksikan manusia terpaksa menjadi begini: kuat karena keadaan, bukan karena pilihan.
Banjir bandang, di akhir bulan November 2025 lalu telah merenggut banyak hal nyawa, rumah, hewan ternak, sawah, jadwal sekolah, wajan-wajan tua yang dulunya penuh cerita. Tapi yang paling memukul adalah kenyataan bahwa anak-anak, pada usia ketika mereka seharusnya berebut krayon atau layangan, kini berebut bantuan, layaknya pengungsi di film-film murahan tentang perang.
Jika ada yang patut kita malu, mungkin bukan karena bencana datang. Bencana adalah perkara alam. Tapi karena kita membiarkan anak-anak menjadi garis depan dalam pertarungan memperoleh hak paling dasar: makan.
Heli itu pergi. Udara kembali tenang. Dan anak-anak itu pulang membawa apa pun yang tersisa, sambil memegang erat keyakinan kecil bahwa besok mungkin ada lagi yang turun dari langit.
Di negeri yang tak selalu hadir di darat, kehadiran dari langit pun tetap dianggap berkah.
Namun anak-anak itu mengajari kita sesuatu:
Bahwa masa depan bangsa ini pernah dan mungkin masih berdiri dengan kaki penuh lumpur, sambil menggenggam sebungkus makanan dengan harapan yang jauh lebih besar dari isi bungkusan itu sendiri.
* juliansyah | wartawan dan penulis aktif di AtjehUpdate.com





