Ade juga menekankan bahwa pabrik rokok ilegal lebih banyak berada di Jawa, dan wilayah seperti Langsa bisa mengambil langkah lebih baik dengan membuka pabrik rokok sendiri. “Daripada hanya terkena dampak negatif, lebih baik kita mendirikan pabrik rokok sendiri di Langsa atau wilayah kerja Bea Cukai Langsa untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan perekonomian lokal,” tegasnya. Ia juga menambahkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat cenderung tidak akan membaik, baik ada ataupun tidak adanya pabrik rokok, mengingat pasar rokok ilegal akan selalu ada jika tidak ada kontrol yang baik.
Selain itu, Ade mempromosikan rokok legal buatan pabrik lokal sebagai solusi, mengajak masyarakat untuk mendukung pabrik rokok legal dan mengurangi peredaran rokok ilegal yang tidak terkontrol.
Kritik Terhadap Pernyataan Muhammad Ade Kurniawan
Pernyataan ini mengundang kritik tajam, terutama mengingat latar belakang Muhammad Ade Kurniawan sebagai salah satu penerima beasiswa S2 LPDP di Birmingham, Inggris, yang memiliki regulasi tembakau dan rokok yang sangat ketat. Di Birmingham, penanganan rokok diatur dengan kebijakan yang menekankan kesehatan masyarakat melalui pengawasan ketat penjualan dan iklan tembakau, pajak cukai tinggi, dan pengendalian ketat atas produk ilegal. Birmingham telah menerapkan larangan merokok di tempat umum tertutup sejak 2007, serta aktif menindak peredaran rokok ilegal bersama otoritas bea cukai.
Mengacu pada pengalamannya belajar di Inggris, kritik yang dilontarkan terhadap Ade Kurniawan menilai bahwa ia seharusnya bisa melihat bagaimana kebijakan yang ketat dapat menekan konsumsi rokok dan melindungi kesehatan masyarakat. Alih-alih menekankan pembukaan pabrik rokok lokal, kritik diarahkan pada prioritas yang lebih difokuskan kepada pertumbuhan ekonomi, yang dinilai bertentangan dengan fokus utama regulasi rokok terbaru di Indonesia—yakni kesehatan publik. UU No. 17 Tahun 2023 secara jelas mencerminkan upaya pemerintah untuk mengurangi akses masyarakat terhadap rokok, terutama di sekitar fasilitas pendidikan.
Bahkan dengan regulasi yang mengatur bahwa penjualan rokok harus dibatasi dalam jarak 200 meter dari sekolah dan tempat umum, Ade Kurniawan tampaknya mengesampingkan dampak jangka panjang kesehatan masyarakat demi alasan ekonomi. Para pengkritik menekankan bahwa kesejahteraan ekonomi tidak seharusnya dibangun dengan mengorbankan kesehatan masyarakat, terutama ketika negara seperti Inggris menunjukkan bahwa regulasi ketat dan pajak cukai tinggi dapat secara efektif mengurangi konsumsi rokok. Dengan kata lain, kesejahteraan ekonomi seharusnya tidak dicapai dengan mengabaikan perlindungan kesehatan publik yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Para pengkritik menyoroti bahwa Muhammad Ade Kurniawan, dengan pengalaman akademisnya di Inggris, seharusnya lebih memahami pentingnya keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan publik. Justifikasi untuk membuka lebih banyak pabrik rokok tanpa memperhitungkan dampak kesehatan masyarakat menunjukkan pendekatan yang tidak selaras dengan regulasi baru yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Kritik ini menjadi lebih relevan ketika mempertimbangkan bahwa regulasi yang lebih ketat bertujuan untuk menurunkan angka perokok, bukan menambahnya, melalui kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat. (red)