AtjehUpdate.com, | Langsa – Perombakan jajaran manajemen di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV menghadirkan nama baru dalam posisi strategis. Tengku Rinel kini menjabat sebagai SEVP Business Support di PTPN IV, setelah sebelumnya mengemban tugas di PTPN III. Pergantian ini menjadi sorotan, tidak hanya karena rekam jejaknya di dunia perkebunan, tetapi juga karena laporan harta kekayaan yang menunjukkan tren peningkatan signifikan.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlah total kekayaan Tengku Rinel mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, total kekayaannya tercatat sebesar Rp 5.850.044.057. Dua tahun kemudian, jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 9.806.161.630 di tahun 2022. Kemudian, pada laporan tahun 2023 yang disampaikan pada 15 Maret 2024, harta kekayaannya kembali naik signifikan menjadi Rp 12.254.483.875. Dalam tiga tahun terakhir, harta kekayaannya mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat, dengan lonjakan terbesar terjadi antara 2022 hingga 2023, di mana hartanya bertambah sekitar Rp 2,4 miliar.
Laporan terbaru mencatat bahwa aset terbesar Tengku Rinel berasal dari kas dan setara kas yang mencapai Rp 7,54 miliar. Selain itu, ia juga memiliki aset properti senilai Rp 3,52 miliar, serta koleksi kendaraan dengan total nilai Rp 1,9 miliar. Beberapa kendaraan yang terdaftar dalam LHKPN 2023 di antaranya Jeep Wrangler 3.8 AT (2011) senilai Rp 698,5 juta, Mitsubishi Pajero (2017) Rp 448,5 juta, Harley Davidson (2017) Rp 550 juta, Dodge Journey 2.4 AT (2012) Rp 189 juta, dan Peugeot Django (2015) Rp 19 juta.
Namun, di balik perombakan ini, muncul gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat di Aceh yang menilai bahwa keputusan ini bertentangan dengan kesepakatan yang telah diteken sebelumnya. Salah satu poin utama dari 17 tuntutan aksi yang telah disampaikan adalah agar jabatan strategis di lingkungan PTPN di Aceh diisi oleh putra daerah, bukan oleh orang luar yang tidak memahami kultur, dinamika sosial, serta kondisi spesifik perkebunan di wilayah tersebut. Sayangnya, kesepakatan tersebut tampaknya diabaikan, dan keputusan untuk tetap menempatkan pejabat dari luar Aceh dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap komitmen bersama.