Lhokseumawe, 9 September 2024 – Salah satu peserta pengadaan jasa pengelolaan limbah, sebuah perusahaan dengan inisial PPLI, menjadi sorotan publik di Provinsi Aceh setelah terbukanya harga penawaran dalam undangan pra kualifikasi yang diselenggarakan Badan Usaha Pengelola Pelabuhan (BUPP) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun. Proyek yang dimaksud adalah pengelolaan limbah di KEK Arun, Aceh, dengan PT PATNA sebagai pengelola proyek.
Penawaran yang diajukan oleh PPLI dalam proyek tersebut mencapai nilai yang sangat fantastis, lebih dari IDR 142 miliar, untuk layanan pembuangan, pengangkutan, dan pengelolaan limbah cair serta lumpur (sludge) yang diklaim terkontaminasi merkuri. Besarnya penawaran ini memicu spekulasi adanya dugaan intervensi dari pihak tertentu dalam proses penunjukan langsung pengelolaan limbah B3, khususnya dugaan keterlibatan oknum di perusahaan BUMN dan pejabat kementerian yang terkait dengan lingkungan hidup.
Menurut sumber dari salah satu tenant di KEK Arun, terdapat oknum pejabat kementerian yang diduga mengatur spesifikasi teknis pekerjaan agar menguntungkan perusahaan tertentu. Dalam dugaan ini, proses pengelolaan limbah diarahkan untuk mengikuti spesifikasi teknis yang dibuat sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tersebut.
Dugaan ini semakin menguat karena nilai proyek yang besar serta posisi strategis KEK Arun, yang menarik perhatian perusahaan-perusahaan besar di sektor pengelolaan limbah industri di Provinsi Aceh. Namun, dalam surat Sanksi Administrasi yang diterbitkan oleh KLHK Gakkum, tidak ditemukan petunjuk teknis khusus terkait pengangkutan, pemusnahan, atau pemanfaatan limbah B3, hanya kewajiban untuk menyerahkannya kepada pihak yang berizin.
Rekam Jejak PPLI dan Kasus Sengketa Pajak
Rekam jejak PPLI menambah keraguan publik terkait transparansi perusahaan ini. Pada tahun 2008, terjadi penjualan saham negara sebesar 5% kepada PPLI. Meski demikian, perusahaan ini sebenarnya berstatus sebagai perusahaan swasta murni (PMA) tanpa kepemilikan saham pemerintah, meskipun perusahaan ini kerap menggunakan status tersebut untuk memperoleh proyek tertentu.
Selain itu, PPLI juga pernah terlibat dalam sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak. Sengketa ini berkaitan dengan koreksi pajak atas beberapa biaya yang dilaporkan oleh PPLI, termasuk Biaya Technical License/Royalty sebesar USD 756,710.00, Biaya Director/Mgt Fees Region sebesar USD 1,080,000.00, dan Biaya Legal Fees sebesar USD 86,183.42. Direktorat Jenderal Pajak menilai bahwa biaya-biaya tersebut tidak dapat diakui karena tidak didukung dengan dokumen yang memadai.
PPLI membawa kasus ini ke Pengadilan Pajak dan kemudian ke Mahkamah Agung melalui permohonan peninjauan kembali. Namun, Mahkamah Agung menolak permohonan PPLI dalam putusan Nomor 161/B/PK/PJK/2017, dan perusahaan ini diwajibkan membayar pajak senilai lebih dari 10 miliar rupiah.
Permasalahan Pengelolaan Limbah di KEK Arun