Tutup Disini
Nasional

Retreat Kepala Daerah: Kemewahan di Tengah Krisis, Militerisasi di Tengah Demokrasi

334
×

Retreat Kepala Daerah: Kemewahan di Tengah Krisis, Militerisasi di Tengah Demokrasi

Share this article
Retreat kepala daerah di Akmil Magelang 2025, kebijakan efisiensi anggaran Prabowo, kemewahan di tengah pemangkasan anggaran, glamping dan seremoni militeristik, kontradiksi penggunaan APBN
Retreat kepala daerah di Akmil Magelang menjadi sorotan karena menelan anggaran miliaran rupiah di tengah kebijakan efisiensi pemerintah yang berdampak pada pemutusan kontrak ribuan tenaga honorer

AtjehUpdate.com, | Jakarta -Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memulai tahun 2025 dengan kebijakan efisiensi anggaran besar-besaran melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025, yang memangkas belanja berbagai kementerian dan lembaga demi mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan perbaikan gedung sekolah. Namun, di tengah kebijakan pemotongan anggaran ini, pemerintah justru tetap menggelar retreat kepala daerah dengan anggaran miliaran rupiah, lengkap dengan fasilitas glamping mewah dan berbagai acara seremonial. Ironisnya, kebijakan efisiensi ini membawa imbas yang cukup besar di berbagai sektor, salah satunya adalah tidak diperpanjangnya kontrak ribuan tenaga honorer di berbagai instansi pemerintahan, termasuk tenaga administrasi, guru honorer, dan tenaga kesehatan. Sementara banyak pekerja kehilangan penghasilan akibat rasionalisasi anggaran, retreat kepala daerah tetap berjalan dengan total biaya Rp10,58 miliar, tanpa mempertimbangkan sensitivitas sosial di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit bagi kelompok pekerja rentan.

Retreat yang akan diadakan di Akademi Militer (Akmil) Magelang pada 21-28 Februari 2025 disebut sebagai ajang sinkronisasi visi dan misi kepala daerah dengan kebijakan pemerintah pusat. Namun, berdasarkan Surat Edaran No. 200.5/628/SJ, retreat ini awalnya melibatkan akomodasi mewah berupa glamping di Borobudur International Golf pada 20 Februari 2025, sebelum akhirnya diubah menjadi dibiayai sepenuhnya oleh APBN setelah menuai kritik. Selain itu, rundown kegiatan menunjukkan banyak unsur seremonial dan upacara, seperti penyambutan dengan drum band Canka Lokananta, baris-berbaris, tata upacara keprotokolan, serta berbagai agenda yang lebih bernuansa seremoni militer ketimbang pembekalan kebijakan daerah. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa retreat ini bukan sekadar pembekalan kepemimpinan, tetapi juga bagian dari narasi kemiliteranistik yang semakin kuat dalam kepemimpinan Prabowo, yang mulai memunculkan militer sebagai garda terdepan dalam berbagai aspek pemerintahan sipil.

Iklan
Ads Output
Iklan

Fenomena ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, jabatan strategis Kepala Bulog diberikan kepada Mayjen TNI aktif eks Pangdam Iskandar Muda, Provinsi Aceh, sebuah langkah yang memperlihatkan bagaimana peran militer semakin dominan dalam posisi-posisi sipil di era kepemimpinan Prabowo. Kini, pola itu terlihat kembali dalam retreat kepala daerah, di mana konsep pelatihan yang seharusnya berfokus pada manajemen pemerintahan justru lebih menyerupai indoktrinasi ala militer, lengkap dengan baris-berbaris, protokoler ketat, dan nuansa kedisiplinan khas akademi militer. Jika ini hanya sekadar pembekalan, mengapa tidak dilakukan secara lebih fungsional dan efisien? Mengapa kepala daerah harus berbaris, mengikuti pelatihan keprotokolan, dan menjalani tata upacara seperti layaknya seorang taruna?

Pada awalnya, retreat ini menggunakan skema cost-sharing, di mana biaya kegiatan selama 8 hari sebagian dibebankan kepada APBD masing-masing daerah. Kepala daerah diminta membayar biaya akomodasi dan konsumsi yang harus disetorkan ke PT Lembah Tidar Indonesia, pakaian dinas lapangan, pakaian olahraga, pakaian resmi, serta transportasi menuju Magelang. Dengan 481 kepala daerah peserta, total anggaran retreat ini mencapai Rp10,58 miliar, belum termasuk staf dan ajudan. Setelah mendapat kritik luas karena membebani APBD daerah, Mendagri akhirnya mengubah skema pembiayaan melalui Surat No. 200.5/692/SJ pada 13 Februari 2025, menyatakan bahwa biaya retreat sepenuhnya dibiayai oleh APBN. Namun, perubahan ini tetap tidak menghilangkan persoalan utama: mengapa pemerintah tetap mengeluarkan anggaran miliaran rupiah untuk acara seperti ini, sementara kebijakan efisiensi telah membawa dampak besar bagi sektor lain, termasuk tidak diperpanjangnya kontrak tenaga honorer di berbagai instansi?

Dampak kebijakan efisiensi anggaran ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi juga berimbas pada kehidupan banyak pekerja yang sebelumnya mengabdikan diri di sektor publik. Bagi tenaga honorer, kebijakan ini bukan sekadar penghematan, tetapi berarti kehilangan penghasilan yang menopang kehidupan mereka dan keluarga. Sementara itu, retreat ini tetap berjalan dengan konsep yang jauh dari sederhana, dengan berbagai seremoni, penginapan mewah, serta nuansa militeristik yang semakin mengakar dalam sistem pemerintahan sipil. Jika tujuan utama retreat ini adalah efisiensi dan peningkatan kapasitas kepemimpinan, mengapa tidak dilakukan secara virtual atau dengan format yang lebih sederhana? Dalam pidatonya pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo menegaskan bahwa anggaran tidak digunakan untuk seremoni yang tidak perlu. Namun, fakta menunjukkan bahwa retreat ini masih menyertakan berbagai upacara penyambutan, baris-berbaris, dan protokoler formal yang tidak esensial.

Lebih lanjut, muncul pula narasi tentang penggunaan uang pribadi Prabowo dalam beberapa agenda pemerintahan, yang disebut-sebut sebagai bukti kepeduliannya terhadap negara. Namun, jika memang Prabowo memiliki kemampuan finansial untuk membiayai acara tertentu dari kantong pribadinya, pertanyaannya adalah mengapa tidak menggunakan dana pribadinya untuk hal yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas? Jika retreat kepala daerah dianggap begitu penting, mengapa tidak menanggung biayanya sendiri alih-alih menggunakan APBN yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat? Lebih dari itu, mengapa tidak memberikan hibah langsung ke daerah-daerah tertinggal atau miskin yang lebih membutuhkan, sehingga bisa memajukan perekonomian daerah-daerah yang masih tertinggal? Jika benar ada komitmen untuk membangun negeri, seharusnya dana pribadi bisa digunakan untuk mendorong pembangunan desa, pendidikan, atau infrastruktur di wilayah-wilayah yang membutuhkan, bukan justru untuk memfasilitasi acara mewah bagi elite pemerintahan.

Retreat kepala daerah 2025 menjadi contoh nyata kontradiksi dalam kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo. Di satu sisi, anggaran kementerian dipangkas, program seremonial ditiadakan, dan banyak tenaga honorer kehilangan pekerjaannya sebagai dampak rasionalisasi anggaran. Namun di sisi lain, pemerintah tetap menggelontorkan miliaran rupiah untuk kegiatan yang mengandung unsur seremoni dan kemewahan. Jika efisiensi anggaran benar-benar menjadi prioritas, maka pemerintah seharusnya konsisten dalam penerapannya. Tidak bisa pekerja honorer dikorbankan, sementara kepala daerah menikmati retreat di tempat mewah dengan fasilitas premium. Yang lebih mengkhawatirkan, pola ini memperlihatkan kecenderungan militerisasi pemerintahan, di mana semakin banyak unsur militer yang diadopsi dalam sistem sipil, dari pelatihan kepala daerah hingga penempatan perwira aktif dalam jabatan strategis. Ke depan, masyarakat berhak menuntut transparansi lebih lanjut dalam kebijakan pengelolaan anggaran dan memastikan bahwa negara tidak secara perlahan bergerak menuju model pemerintahan yang lebih militeristik di bawah kepemimpinan sipil, sambil mempertanyakan kembali bagaimana penggunaan dana negara, termasuk apakah uang pribadi pemimpin benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas bagi kesejahteraan rakyat.(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.